SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum pada Masa Sebelum Kemerdekaan
1. Masa VOC.
Pada masa VOC ( abad 17 – 18), sistem pendidikan dikelola oleh
gereja. Sistem ini tidak diatur oleh pemerintah pendudukan, melainkan
oleh para pastur atau biarawan. Sistem yang digunakan berlandaskan
dengan ajaran agama Nasrani yang mengunakan konsep asrama pula. Namun,
pada masa ini, pendidikan hanya untuk tingkat dasar sebatas mengajarkan
baca, tulis, dan menghitung.
2. Masa Hindia Belanda.
Pada masa nusantara dikendalikan langsung oleh Kerajaan Belanda,
sistem pendidikan sudah mulai terstruktur. Jenjang-jenjang pendidikan
sudah ditetapkan dengan menganut prinsip-prinsip yang jelas. Adapun
dalam masa ini, sistem pendidikan masa kolonial dibuat sekuler atau
menjauh dari kecenderungan agama atau etnis tertentu. Pemerintah
langsung mengelola pendidikan, bukan para biarawan lagi. Selain itu,
rekrutmen siswa dibuat secara diskriminatif. Sekolah-sekolah dibuat
berdasarkan lapisan sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain, akan
dibedakan sekolah baik untuk pelajar keturunan Eropa atau bagi para
pribumi. Bahkan sekolah untuk pribumi pun, hanya diperuntukan bagi
mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan
Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai
berikut:
- Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
- Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
- Pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924).
3. Masa Pendudukan Jepang
Saat perang Asia Timur Raya meletus (1942 – 1945), Indonesia tidak
luput dari sasaran pendudukan tentara Jepang. Dengan pasukan gerak
cepatnya, tentara Jepang dengan mudah dapat menaklukan pemerintah Hindia
Belanda pada awal tahun 1942. Dengan peralihan kekuasaan ini, tentu
banyak perubahan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, hingga
pendidikan. Semua kebijakan yang diterapkan, sudah tentu, ditujukan bagi
kepentingan Jepang yang sedang berperang melawan sekutu.
Di bidang pendidikan, ada perubahan yang jelas terjadi. Salah satunya
adalah penggunaan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pengantar di
sekolah. Hal ini tentu sebuah terobosan besar di Indonesia sendiri.
Sebelumnya, bahasa pengantar yang digunakan semasa penajajahan Belanda
adalah bahasa Belanda atau bahasa daerah masing-masing. Penggunaan
bahasa Indonesia ini, secara langsung telah memupuk rasa nasionalisme
bangsa Indonesia terhadap identitasnya sendiri
Adapun sistem pendidikan di masa Jepang ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
- Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
- Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
- Pendidikan Tinggi..
Kurikulum pada Masa Setelah Kemerdekaan
Rencana Pelajaran 1947
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rencana
Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang
sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam proses
perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam kurikulum ini
adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat
dan sejajar dengan bangsa lain.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950.
Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari
Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran
dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan
watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran
dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan
pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952
kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama
menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut
Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali.
seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad,
Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di
usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964
atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam
lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun
1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana
Pendidikan 1964. Yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran
dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral,
kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani. Yang menjadi ciri dalam
kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran
yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 1964&1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali
menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama
Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang
menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu
dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi
pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila
sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968. Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito,
Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah
“satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga
sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr.
Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986
yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta —
periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus
hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi
dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di
ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar,
dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Sayang, perpaduan tujuan dan proses
belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai
terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu
tertentu masuk dalam kurikulum. Alhasil,menjelma menjadi kurikulum super
padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998,diikuti kehadiran suplemen
Kurikulum 1999.Tapi perubahannya lebih pada menambah sejumlah materi.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai dengan undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu
pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun
menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk
dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
- Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
- Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
- Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
- Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
- Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
- Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
- Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.
- Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut :
- Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
- Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran
diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya,
kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni
ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan
ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu
lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa
besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau
Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya
tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi
yang diinginkan pembuat kurikulum.
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk
implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang siste8m pendidikan
nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya
disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
(1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan,
(4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan
prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar
penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang
ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan
pembelajarantetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi
(dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan
KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh
dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar
yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan
kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan
silabusnya.
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan
proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis
evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang
paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa
serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan
perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan
kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi
pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan
perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada
saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah
untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban
oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang
guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia
yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum
yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping
kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber
manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih
rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut
untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana
dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
Kurikulum Nasional (Kurtilas)
Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 terbalik dengan KTSP. Dalam kurikulum 2013 Standar
Kompetensi Lulusan seperti apa yang diinginkan akan membentuk mata
pelajaran. Jadi, apa yang menjadi kebutuhan di zaman sekarang dan
mendatang itulah yang akan diberikan. Kedua,
kurikulum 2013 memiliki pendekatan pembelajaran yang lebih utuh dengan
mengutamakan kreativitas siswa. Kurikulum baru memenuhi tiga komponen
utama pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik.
Ketiga, kurikulum 2013 didisain berkesinambungan antara
kompetensi yang ada di SD, SMP hingga SMA. Intinya, dalam kurikulum 2013
setiap peserta didik dituntut kreatif dan inovatif karena ke depannya
temuan dan kreatifitas yang menjadi andalan. Selain itu ada juga
pengembangan karakter bangsa telah diintegrasikan kedalam semua program
studi.
Kurikulum Zaman
Penjajahan Belanda
Eureka Pendidikan. Meskipun pada fase pemerintah Hindia-Belanda telah
mulai menyelenggarakan pendidikan formal sampai dengan pendidikan
menengah dan tinggi, namun tujuannya semata-mata bukan untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan penduduk bumiputera. Atas dasar itu,
muncul berbagai macam kritikan dan kecaman dari para pembela kepentingan
negara jajahan Hindia-Belanda seperti de Waal, van Dedem, van Kol, van
Berg, Schoepman, Bool, van Nunen, dan van Deventer. Untuk menanggapi
kecaman dan kritikan tersebut, Pemerintah Belanda menjalankan “politik
etis” (etische politic) sebagai politik balasan setelah selama
bertahun-tahun lamanya mereka menggaruk keuntungan yang besar dari
kekayaan dan keringat penduduk bumiputera melalui kerja paksa dalam
rangka pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun
1810–1830.
Para pengkritik dan pengecam mengatakan bahwa politik etis sebagai
politik immoral (tak bermoral), yang merupakan balasan tidak setimpal
dengan perampokan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap harta
kekayaan tanah jajahan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus: (1)
memberikan sebagian keuntungan mereka kepada bumiputera, dan (2)
memperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat telah menjadikan Belanda
sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Pendidikan menengah setara SMA, yang pada fase penjajahan pemerintah
Hindia-Belanda disebut dengan nama Algemeene Middelbare School atau AMS,
baru didirikan pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an. AMS
merupakan kelanjutan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO atau
SMP di zaman sekarang. Sedangkan MULO merupakan dari Hollandsch
Inlandsche School atau HIS atau SD di zaman sekarang. Semua tingkatan
sekolah tersebut diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak dari
masyarakat bumiputera golongan atas dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar belajarnya.
Sampai dengan tahun 1930-an, AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi
Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain
itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan
Surakarta), dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.
Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke AMS dengan harapan dapat
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
misalnya ke Technische Hooge School (THS) di Bandung yang didirikan
tahun 1920 sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB); Rechts Hooge
School (RHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1924 sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta; Geneeskudige Hooge School
(GHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1927 sekarang Fakultas Kedokteran
UI Jakarta; dan Landbouw Hooge School (LHS) di Bogor yang didirikan
tahun 1940 sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem
prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan
Belanda pun bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak
pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat
kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolonial adalah
sebagai berikut :
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.
Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan
(Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling
atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat
bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo
selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang
berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan
HBS 3, Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge
School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi
5 tahun.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Kurikulum Zaman
Penjajahan Belanda
Eureka Pendidikan. Meskipun pada fase pemerintah Hindia-Belanda telah
mulai menyelenggarakan pendidikan formal sampai dengan pendidikan
menengah dan tinggi, namun tujuannya semata-mata bukan untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan penduduk bumiputera. Atas dasar itu,
muncul berbagai macam kritikan dan kecaman dari para pembela kepentingan
negara jajahan Hindia-Belanda seperti de Waal, van Dedem, van Kol, van
Berg, Schoepman, Bool, van Nunen, dan van Deventer. Untuk menanggapi
kecaman dan kritikan tersebut, Pemerintah Belanda menjalankan “politik
etis” (etische politic) sebagai politik balasan setelah selama
bertahun-tahun lamanya mereka menggaruk keuntungan yang besar dari
kekayaan dan keringat penduduk bumiputera melalui kerja paksa dalam
rangka pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun
1810–1830.
Para pengkritik dan pengecam mengatakan bahwa politik etis sebagai
politik immoral (tak bermoral), yang merupakan balasan tidak setimpal
dengan perampokan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap harta
kekayaan tanah jajahan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus: (1)
memberikan sebagian keuntungan mereka kepada bumiputera, dan (2)
memperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat telah menjadikan Belanda
sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Pendidikan menengah setara SMA, yang pada fase penjajahan pemerintah
Hindia-Belanda disebut dengan nama Algemeene Middelbare School atau AMS,
baru didirikan pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an. AMS
merupakan kelanjutan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO atau
SMP di zaman sekarang. Sedangkan MULO merupakan dari Hollandsch
Inlandsche School atau HIS atau SD di zaman sekarang. Semua tingkatan
sekolah tersebut diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak dari
masyarakat bumiputera golongan atas dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar belajarnya.
Sampai dengan tahun 1930-an, AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi
Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain
itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan
Surakarta), dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.
Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke AMS dengan harapan dapat
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
misalnya ke Technische Hooge School (THS) di Bandung yang didirikan
tahun 1920 sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB); Rechts Hooge
School (RHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1924 sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta; Geneeskudige Hooge School
(GHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1927 sekarang Fakultas Kedokteran
UI Jakarta; dan Landbouw Hooge School (LHS) di Bogor yang didirikan
tahun 1940 sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem
prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan
Belanda pun bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak
pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat
kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolonial adalah
sebagai berikut :
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.
Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan
(Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling
atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat
bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo
selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang
berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan
HBS 3, Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge
School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi
5 tahun.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Kurikulum Zaman
Penjajahan Belanda
Eureka Pendidikan. Meskipun pada fase pemerintah Hindia-Belanda telah
mulai menyelenggarakan pendidikan formal sampai dengan pendidikan
menengah dan tinggi, namun tujuannya semata-mata bukan untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan penduduk bumiputera. Atas dasar itu,
muncul berbagai macam kritikan dan kecaman dari para pembela kepentingan
negara jajahan Hindia-Belanda seperti de Waal, van Dedem, van Kol, van
Berg, Schoepman, Bool, van Nunen, dan van Deventer. Untuk menanggapi
kecaman dan kritikan tersebut, Pemerintah Belanda menjalankan “politik
etis” (etische politic) sebagai politik balasan setelah selama
bertahun-tahun lamanya mereka menggaruk keuntungan yang besar dari
kekayaan dan keringat penduduk bumiputera melalui kerja paksa dalam
rangka pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun
1810–1830.
Para pengkritik dan pengecam mengatakan bahwa politik etis sebagai
politik immoral (tak bermoral), yang merupakan balasan tidak setimpal
dengan perampokan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap harta
kekayaan tanah jajahan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus: (1)
memberikan sebagian keuntungan mereka kepada bumiputera, dan (2)
memperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat telah menjadikan Belanda
sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Pendidikan menengah setara SMA, yang pada fase penjajahan pemerintah
Hindia-Belanda disebut dengan nama Algemeene Middelbare School atau AMS,
baru didirikan pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an. AMS
merupakan kelanjutan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO atau
SMP di zaman sekarang. Sedangkan MULO merupakan dari Hollandsch
Inlandsche School atau HIS atau SD di zaman sekarang. Semua tingkatan
sekolah tersebut diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak dari
masyarakat bumiputera golongan atas dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar belajarnya.
Sampai dengan tahun 1930-an, AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi
Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain
itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan
Surakarta), dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.
Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke AMS dengan harapan dapat
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
misalnya ke Technische Hooge School (THS) di Bandung yang didirikan
tahun 1920 sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB); Rechts Hooge
School (RHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1924 sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta; Geneeskudige Hooge School
(GHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1927 sekarang Fakultas Kedokteran
UI Jakarta; dan Landbouw Hooge School (LHS) di Bogor yang didirikan
tahun 1940 sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem
prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan
Belanda pun bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak
pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat
kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolonial adalah
sebagai berikut :
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.
Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan
(Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling
atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat
bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo
selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang
berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan
HBS 3, Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge
School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi
5 tahun.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Kurikulum Zaman
Penjajahan Belanda
Eureka Pendidikan. Meskipun pada fase pemerintah Hindia-Belanda telah
mulai menyelenggarakan pendidikan formal sampai dengan pendidikan
menengah dan tinggi, namun tujuannya semata-mata bukan untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan penduduk bumiputera. Atas dasar itu,
muncul berbagai macam kritikan dan kecaman dari para pembela kepentingan
negara jajahan Hindia-Belanda seperti de Waal, van Dedem, van Kol, van
Berg, Schoepman, Bool, van Nunen, dan van Deventer. Untuk menanggapi
kecaman dan kritikan tersebut, Pemerintah Belanda menjalankan “politik
etis” (etische politic) sebagai politik balasan setelah selama
bertahun-tahun lamanya mereka menggaruk keuntungan yang besar dari
kekayaan dan keringat penduduk bumiputera melalui kerja paksa dalam
rangka pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun
1810–1830.
Para pengkritik dan pengecam mengatakan bahwa politik etis sebagai
politik immoral (tak bermoral), yang merupakan balasan tidak setimpal
dengan perampokan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap harta
kekayaan tanah jajahan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus: (1)
memberikan sebagian keuntungan mereka kepada bumiputera, dan (2)
memperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat telah menjadikan Belanda
sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Pendidikan menengah setara SMA, yang pada fase penjajahan pemerintah
Hindia-Belanda disebut dengan nama Algemeene Middelbare School atau AMS,
baru didirikan pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an. AMS
merupakan kelanjutan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO atau
SMP di zaman sekarang. Sedangkan MULO merupakan dari Hollandsch
Inlandsche School atau HIS atau SD di zaman sekarang. Semua tingkatan
sekolah tersebut diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak dari
masyarakat bumiputera golongan atas dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar belajarnya.
Sampai dengan tahun 1930-an, AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi
Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain
itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan
Surakarta), dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.
Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke AMS dengan harapan dapat
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
misalnya ke Technische Hooge School (THS) di Bandung yang didirikan
tahun 1920 sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB); Rechts Hooge
School (RHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1924 sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta; Geneeskudige Hooge School
(GHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1927 sekarang Fakultas Kedokteran
UI Jakarta; dan Landbouw Hooge School (LHS) di Bogor yang didirikan
tahun 1940 sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem
prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan
Belanda pun bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak
pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat
kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolonial adalah
sebagai berikut :
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.
Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan
(Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling
atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat
bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo
selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang
berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan
HBS 3, Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge
School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi
5 tahun.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Kurikulum Zaman
Penjajahan Belanda
Eureka Pendidikan. Meskipun pada fase pemerintah Hindia-Belanda telah
mulai menyelenggarakan pendidikan formal sampai dengan pendidikan
menengah dan tinggi, namun tujuannya semata-mata bukan untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan penduduk bumiputera. Atas dasar itu,
muncul berbagai macam kritikan dan kecaman dari para pembela kepentingan
negara jajahan Hindia-Belanda seperti de Waal, van Dedem, van Kol, van
Berg, Schoepman, Bool, van Nunen, dan van Deventer. Untuk menanggapi
kecaman dan kritikan tersebut, Pemerintah Belanda menjalankan “politik
etis” (etische politic) sebagai politik balasan setelah selama
bertahun-tahun lamanya mereka menggaruk keuntungan yang besar dari
kekayaan dan keringat penduduk bumiputera melalui kerja paksa dalam
rangka pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun
1810–1830.
Para pengkritik dan pengecam mengatakan bahwa politik etis sebagai
politik immoral (tak bermoral), yang merupakan balasan tidak setimpal
dengan perampokan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap harta
kekayaan tanah jajahan. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus: (1)
memberikan sebagian keuntungan mereka kepada bumiputera, dan (2)
memperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat telah menjadikan Belanda
sebagai bangsa yang besar dan kuat.
Pendidikan menengah setara SMA, yang pada fase penjajahan pemerintah
Hindia-Belanda disebut dengan nama Algemeene Middelbare School atau AMS,
baru didirikan pada awal abad ke-20 atau awal tahun 1900-an. AMS
merupakan kelanjutan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO atau
SMP di zaman sekarang. Sedangkan MULO merupakan dari Hollandsch
Inlandsche School atau HIS atau SD di zaman sekarang. Semua tingkatan
sekolah tersebut diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak dari
masyarakat bumiputera golongan atas dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar belajarnya.
Sampai dengan tahun 1930-an, AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi
Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain
itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan
Surakarta), dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.
Banyak orang tua menyekolahkan anaknya ke AMS dengan harapan dapat
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu
misalnya ke Technische Hooge School (THS) di Bandung yang didirikan
tahun 1920 sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB); Rechts Hooge
School (RHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1924 sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta; Geneeskudige Hooge School
(GHS) di Jakarta yang didirikan tahun 1927 sekarang Fakultas Kedokteran
UI Jakarta; dan Landbouw Hooge School (LHS) di Bogor yang didirikan
tahun 1940 sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sistem
prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan
Belanda pun bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak
pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat
kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolonial adalah
sebagai berikut :
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun.
Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan
(Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling
atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat
bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7 tahun, Mulo
selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang
berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan
HBS 3, Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge
School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi
5 tahun.
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Source: http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/kurikulum-zaman-penjajahan-belanda.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar